Pemimpin
dan kepeminpinan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, pemimpin lebih
mengacu kepada seseorang atau sekelompok orang yang memimpin suatu organisasi
dan kepemimpinan berasal dari kata pokok pemimpin, kepemimpinan adalah
mengandung pengertian gabungan dari dua unsur yaitu unsur orang seorang
(pemimpin) dan unsur pedoman dan cara memimpin atau pola kepemimpinan.
Kepemimpinan
secara etimologi (asal kata) menurut bahasa indonesia, berasal dari kata dasar
“pimpinan”. Dengan mendapat awalan me menjadi “memimpin” maka berarti menuntun,
menunjukan jalan dan membimbing. Perkataan memimpin bermakna sebagai kegiatan,
sedang yang melaksanakannya adalah disebut pemimpin. Dengan kata lain pemimpin
adalah orang yang memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Bertolak dari kata
pemimpin berkembang pula perkataan kepemimpinan, berupa penambahan awalan ke-
dan akhiran -an pada kata pemimpin, perkataan kepemimpinan menunjukan pada
semua perihal dalam memimpin, termasuk juga kegiatannya.[1]
Menurut robbins, seperti yang dikutip oleh sudarwan danim dan suparno,
kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompok ke arah pencapaian tujuan.
Sedangkan james Lipham, seperti yang diikuti oleh M.Ngalim Purwanto,
mendefinisikan kepemimpinan adalah permulaan dari suatu struktur atau prosedur
baru untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran organisasi atau untuk mengubah
tujuan-tujuan dan sasaran organisasi. J.Salusu mendefinisikan kepemimpinan
sebagai kekuatan dalam mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai
tujuan umum. Sedangkan menurut Hendiyat Soetopo dan Waty Soemanto, kepemimpinan
sebagai suatu kegiatan dalam membimbing suatu kelompok sedemikian hingga/rupa
sehingga tercapai dari kelompok itu,yaitu tujuan bersama. Sedangkan kepemimpinan
,secara umum adalah kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat
mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakan, dan kalau perlu
memaksa orang lain agar ia menerima pengaruh itu.[2]
Betapapun
tingginya mutu seorang pemimpin, dalam menjalankan pimpinan dia mestilah
berpegang kepada pola kepemimpinan. Tanpa berpegang kepada pola kepemimpinan,
pemimpin yang hebat akan merupakan “the right man in the wrong place”, iapun
akan gagal. Pemimpin yang kualitasnya kurang, meskipun berpegangan kepada pola
kepemimpinan, ia adalah “the wrong man in the wrong place”, ia akan gagal
berlipat ganda.[3]
Proses
kepemimpinan pada dasarnya merupakan gejala sosial, karena berlangsung
interaksi antar manusia sebagai makhluk sosial. Kepemimpinan tidak dapat
dilepaskan hubungannya dengan situasi sosial yang terbentuk dan sedang
berlangsung di lingkungan suatu organisasi. Oleh karena situasi sosial itu
selalu berkembang dan dapat berubah–ubah, maka proses kepemimpinan tidak
mungkin dilakukan sebagai kegiatan rutin yang diulang-ulang.
Pemimpin
yang efektif akan selalu berusaha mengembangkan situasi sosial yang bersifat
kebersamaan yang mampu memberikan dukungan positif terhadap keputusan yang
ditetapkanya, sehubungan dengan itu terdapat dua dimensi interaksi sosial yang
perlu mendapat perhatian seorang pemimpin. Kedua dimensi itu adalah :
1.
Dimensi kemampuan pemimpin mengarahkan
(direction).
Dimensi ini merupakan
aktivitas yang berisi tindakan-tindakan pemimpin dalam interaksi dengan anggota
organisasinya, yang mengakibatkan semuanya berbuat sesuatu di bidangnya
masing-masingnyang tertuju pada tujuan organisasi.
2.
Dimensi tingkat dukungan (support) dari
anggota organisasi
Dimensi
ini terbentuk keikutsertaan (keterlibatan) anggota organisasi dalam kegiatan-kegiatan
melaksanakan tugas-tugas pokoknya.[4]
Fungsi
utama dari kepemimpinan adalah sebagai adminstrator dan kordinator bagi semua
sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam, dana, sarana, dan juga
potensi-potensi yang ada didalam organisasi dalam mencapai tujuan organisasi.
Lima pokok fungsi kepemimpinan, yaitu sebagai berikut :
a)
Fungsi Intruksi
Fungsi ini bersifat
komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang
menentukan apa, bagaimana, bilamana, dan di mana perintah itu dikerjakan agar
keputusan dapat dilaksanakan secara efektif. Kepemimpinan yang efektif
memerlukan kemampuan untuk menggerakan dan memotivasi orang lain agar mau
melaksanakan perintah.
b)
Fungsi Konsultasi
Fungsi
ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap pertama dalam usaha menetapkan
keputusan, pemimpin kerap kali memerlukan pertimbangan, yang mengharuskan
berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya yang dinilai mempunyai
berbagai bahan informasi yang diperlukan dalam menetapkan keputusan.
c)
Fungsi Partisipasi
Dalam
menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang
dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam
melaksanakanya. Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi
dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerja sama dengan tidak
mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain.
d)
Fungsi Delegasi
Fungsi
ini dilaksanakan dengan memberi pelimpahan wewenang membuat/menetapkan
keputusan, baik melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pemimpin.
Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan.
e)
Fungsi pengendalian
Fungsi pengendalian
bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses atau efektif mampu mengatur aktivitas
anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif sehingga
memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal.[5]
Rasulullah
lahir di dalam suatu masyarakat yang tegak di atas penindasan. Sekelompok kecil
masyarakat hidup di atas penderitaan sejumlah besar masyarakat. Masyarakat arab
pada waktu itu terbagi atas dua bagia besar, golongan merdeka dan golongan
budak belian (al-hurr wal-‘abd). Dalam
hal kekayaan, mereka terbagi menjadi dua, orang kaya dan orang miskin. Dalam
kekuatan politik, mereka hanya mengenal yang kuat dan yang lemah. Sejak semula,
risalahnya sudah jelas. Yang Agung cuma Allah, semua manusia adalah sama di
sisi-Nya. Yang paling mulia bukan yang paling tinggi pangkatnya, bukan pula
yang paling banyak rumah dan kebunnya, melainkan yang paling bertaqwa. Muhammad
SAW untuk membela kelompok masyarakat
yang tertindas. Pertama, membangkitkan harga diri rakyat kecil dan dhu’afa,
membangkitkan harga diri fuqara dan masakin, sebab mereka adalah kelompok
masyarakat yang paling sering direndahkan, dicaci, dan dimaki. Untuk
menumbuhkan harga diri kaum muslimin dhu’afa ini, Rasulullah memilih hidup di
tengah masyarakat para hamba sahaya dan orang miskin. Kepada para sahabatnya
yang menanyakan tempat yang paling baik menemuinnya, beliau menjawab: ”carilah aku di antara orang-orang lemah di
antara kamu. Carilah aku di tengah-tengah kelompok kecil di antara kamu.”
Para sosiologi berpendapat, bahwa dalam suatu masyarakat yang tertindas terjadi
proses dehumanisasi kaum lemah. Kedua, sebagai pemimpin orang kecil, sebagai
pembebas kaum dhu’afa, Rasulullah memilih hidup seperti mereka. Ia hidup
sederhana. Karena ia tahu, sebagian besar sahabatnya masih menderita.
Ditahannya rasa lapar berhari-hari, karena ia mengerti bahwa sebagian
sahabatnya juga sering mengalami kelaparan.[6]
Muhammad
SAW telah berhasill membangun suatu tatanan sosial yang modern dengan
memperkenalkan nilai-nilai kesetaraan universal, semangat kemajemukan dan
multikulturalisme, rule of law, dan sebagai sistem sosial yang diakui terlalu
modern dibanding zamanya itu dirintis oleh Muhammad SAW dan kemudian
dikembangkan oleh para khalifah sesudahnya. Muhammad mampu menyeleraskan
berbagai strategi untuk mencapai tujuannya dalam menyiarkan ajaran islam dan
membangun tatanan sosial yang baik dan modern. Ketika banyak para sahabat yang
menolak kesediaan beliau untuk melakukan perjanjian perdamaian hudaybiyah yang
dipandang menguntungkan pihak musrikin, beliau tetap bersikukuh dengan
kesepakatan itu. Terbukti, pada akhirnya perjanjian tersebut berbalik
menguntungkan kaum muslimin dan pihak musrikim meminta agar perjanjian itu
dihentikan. Beliau juga dapat membangun sistem hukum yang kuat, hubungan
diplomasi dengan suku-suku dan kerajaan disekitar madinah, dan sistem
pertahanan yang kuat sehingga menjelang beliau wafat madinah tumbuh menjadi
negara baru yang cukup berpengaruh pada waktu itu. Beliau juga dengan bijak
mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan anshar ketika mulai membangun
masyarakat madinah. Beliau mengangkat para pejabat sebagai amir (kepala daerah)
atau hakim berdasarkan kompetensi dan good track record yang mereka miliki,
tidak heran dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama (sekitar 10 tahun),
beliau telah mampu mendirikan dasar-dasar tatanan sosial masyarakat modern.
Muhammad SAW dikenal kuat berpegang pada keputusan yang telah disepakati.
Menjelang perang uhud, suara-suara yang menginginkan agar kaum Muslim
‘menyambut’ pasukan Musyrik diluar Madinah lebih banyak daripada yang ingin
bertahan di pinggiran Madinah. Rasulullah SAW pun pada awalnya memilih pendapat
yang kedua. Tetapi karena mengikuti prosedur suara terbanyak, akhirnya diambil
keputusan untuk menyongsong pasukan Makkah di luar Madinah. Belakangan para
sahabat menyadari bahwa mereka terlalu memaksakan kehendak mereka terhadap
Muhammad SAW dan meminta beliau untuk untuk memutuskan apa yang menurut beliau
dan Allah merupakan jalan terbaik. Menyikapi hal ini Muhammad menjawab dengan
tegas: “Kedalam pembicaraan yang semacam inilah saya ajak kalian menolak. Tidak
layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan baju besinya lalu akan
menaggalkan kembali sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dan
musuhnya. Perhatikan apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian dan
ikutilah! Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu. Rasulullah
SAW menjadi panutan dalam melaksanakan nasihat dan saran-sarannya demikian juga
dalam pribadi yang mulia. Beliau adalah seorang yang dermawan kepada siapapun
yang datang dan meminta pertolongan jauh sebelum mengatakan,” Tangan diatas
lebih mulia dari tangan dibawah.”beliau memikul batu, mengambil sekop tanah
ketika membangun Masjid Nabawi, membawa linggis ketika menggali parit (khandaq)
waktu mengajak umatnya,” mari membangun bersama.”[7]
Muhammad
SAW mengingatkan tentang perlunya kompetensi penguasaan terhadap diri sendiri.
Misalnya ketika pulang dari perang badar Al-Kubra, beliau berkata kepada para
sahabat,”kita pulang dari perang yang lebih kecil menuju perang yang lebih
besar.”para sahabat saling berpandangan dan bertanya-tanya,”Bukankah perang yang
baru dilalui adalah suatu perang yang besar?”salah satu sahabat bertanya,”Apa
perang yang lebih besar itu, wahai Rasulullah?”jawab beliau,”perang melawan
hawa nafsu.”peperangan melawan hawa nafsu adalah peperangan melawan diri
sendiri. Self leadership pada intinya adalah kemampuan diri dalam mengendalikan
hawa nafsu. Seorang bijak berkata,”Setiap musuh yang Anda perlakukan dengan
sopan akan menjadi kawan kecuali nafsu. Semakin lunak anda padanya, ia akan
menjadi semakin melawan.” Inilah kepemimpinan kita terhadap diri kita sendiri.
Self leadership ini sangat ditegaskan oleh Rasulullah SAW beliau
bersabda,”setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya tentang
kepemimpinannya.”[8]
oleh : Kader KPMDB Wilayah Surakarta
[1] Nawawi H.hadari.Kepemimpinan
Menurut Islam.Yogyakarta :Gadjah Mada University Press.2001.hal 28
[2] Baharudin dan umiarso.Kepemimpinan pendidikan islam(Yogyakarta:AR-RUZZ
MEDIA.2012)hal.47
[3] Ranuwiharja A. Dahlan. Menuju
Pejuang Paripurna. Jakarta :PIMPINAN KOLEKTIF MAJELIS NASIONAL KAHMI.2012.
hal:75
[4] Nawawi H.hadari.Kepemimpinan
Menurut Islam.Yogyakarta :Gadjah Mada University Press.2001.hal 141-142
[5] Baharudin dan Umiarso. Kepemimpinan
Pendidikan Islam.Jogjakarta:AR-Ruzz media.2012.hal 38-40
[6] Rahmat.Jalaludin.1994.Islam
Alternatif.Bandung: Penerbit Mizan.hal 81-83
[7] Antonio.Muhammad
Syafii.2007.Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager.Jakarta:Tazkia
Multimedia & ProLM centre.hal 20-22
[8] Ibid.hal 67-68
0 komentar:
Posting Komentar