er

Selasa, 18 Februari 2014

Menelusuri Kepemimpinan Rasulullah SAW

Pemimpin dan kepeminpinan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, pemimpin lebih mengacu kepada seseorang atau sekelompok orang yang memimpin suatu organisasi dan kepemimpinan berasal dari kata pokok pemimpin, kepemimpinan adalah mengandung pengertian gabungan dari dua unsur yaitu unsur orang seorang (pemimpin) dan unsur pedoman dan cara memimpin atau pola kepemimpinan.
Kepemimpinan secara etimologi (asal kata) menurut bahasa indonesia, berasal dari kata dasar “pimpinan”. Dengan mendapat awalan me menjadi “memimpin” maka berarti menuntun, menunjukan jalan dan membimbing. Perkataan memimpin bermakna sebagai kegiatan, sedang yang melaksanakannya adalah disebut pemimpin. Dengan kata lain pemimpin adalah orang yang memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Bertolak dari kata pemimpin berkembang pula perkataan kepemimpinan, berupa penambahan awalan ke- dan akhiran -an pada kata pemimpin, perkataan kepemimpinan menunjukan pada semua perihal dalam memimpin, termasuk juga kegiatannya.[1] Menurut robbins, seperti yang dikutip oleh sudarwan danim dan suparno, kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompok ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan james Lipham, seperti yang diikuti oleh M.Ngalim Purwanto, mendefinisikan kepemimpinan adalah permulaan dari suatu struktur atau prosedur baru untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran organisasi atau untuk mengubah tujuan-tujuan dan sasaran organisasi. J.Salusu mendefinisikan kepemimpinan sebagai kekuatan dalam mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum. Sedangkan menurut Hendiyat Soetopo dan Waty Soemanto, kepemimpinan sebagai suatu kegiatan dalam membimbing suatu kelompok sedemikian hingga/rupa sehingga tercapai dari kelompok itu,yaitu tujuan bersama. Sedangkan kepemimpinan ,secara umum adalah kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakan, dan kalau perlu memaksa orang lain agar ia menerima pengaruh itu.[2]
Betapapun tingginya mutu seorang pemimpin, dalam menjalankan pimpinan dia mestilah berpegang kepada pola kepemimpinan. Tanpa berpegang kepada pola kepemimpinan, pemimpin yang hebat akan merupakan “the right man in the wrong place”, iapun akan gagal. Pemimpin yang kualitasnya kurang, meskipun berpegangan kepada pola kepemimpinan, ia adalah “the wrong man in the wrong place”, ia akan gagal berlipat ganda.[3]
Proses kepemimpinan pada dasarnya merupakan gejala sosial, karena berlangsung interaksi antar manusia sebagai makhluk sosial. Kepemimpinan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan situasi sosial yang terbentuk dan sedang berlangsung di lingkungan suatu organisasi. Oleh karena situasi sosial itu selalu berkembang dan dapat berubah–ubah, maka proses kepemimpinan tidak mungkin dilakukan sebagai kegiatan rutin yang diulang-ulang.
Pemimpin yang efektif akan selalu berusaha mengembangkan situasi sosial yang bersifat kebersamaan yang mampu memberikan dukungan positif terhadap keputusan yang ditetapkanya, sehubungan dengan itu terdapat dua dimensi interaksi sosial yang perlu mendapat perhatian seorang pemimpin. Kedua dimensi itu adalah :
1.      Dimensi kemampuan pemimpin mengarahkan (direction).
Dimensi ini merupakan aktivitas yang berisi tindakan-tindakan pemimpin dalam interaksi dengan anggota organisasinya, yang mengakibatkan semuanya berbuat sesuatu di bidangnya masing-masingnyang tertuju pada tujuan organisasi.
2.      Dimensi tingkat dukungan (support) dari anggota organisasi
Dimensi ini terbentuk keikutsertaan (keterlibatan) anggota organisasi dalam kegiatan-kegiatan melaksanakan tugas-tugas pokoknya.[4]
Fungsi utama dari kepemimpinan adalah sebagai adminstrator dan kordinator bagi semua sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam, dana, sarana, dan juga potensi-potensi yang ada didalam organisasi dalam mencapai tujuan organisasi. Lima pokok fungsi kepemimpinan, yaitu sebagai berikut :
a)      Fungsi Intruksi
Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang menentukan apa, bagaimana, bilamana, dan di mana perintah itu dikerjakan agar keputusan dapat dilaksanakan secara efektif. Kepemimpinan yang efektif memerlukan kemampuan untuk menggerakan dan memotivasi orang lain agar mau melaksanakan perintah.
b)      Fungsi Konsultasi
Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap pertama dalam usaha menetapkan keputusan, pemimpin kerap kali memerlukan pertimbangan, yang mengharuskan berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya yang dinilai mempunyai berbagai bahan informasi yang diperlukan dalam menetapkan keputusan.
c)      Fungsi Partisipasi
Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam melaksanakanya. Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerja sama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain.
d)     Fungsi Delegasi
Fungsi ini dilaksanakan dengan memberi pelimpahan wewenang membuat/menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pemimpin. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan.
e)      Fungsi pengendalian
Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses atau efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal.[5]
Rasulullah lahir di dalam suatu masyarakat yang tegak di atas penindasan. Sekelompok kecil masyarakat hidup di atas penderitaan sejumlah besar masyarakat. Masyarakat arab pada waktu itu terbagi atas dua bagia besar, golongan merdeka dan golongan budak belian (al-hurr wal-‘abd).  Dalam hal kekayaan, mereka terbagi menjadi dua, orang kaya dan orang miskin. Dalam kekuatan politik, mereka hanya mengenal yang kuat dan yang lemah. Sejak semula, risalahnya sudah jelas. Yang Agung cuma Allah, semua manusia adalah sama di sisi-Nya. Yang paling mulia bukan yang paling tinggi pangkatnya, bukan pula yang paling banyak rumah dan kebunnya, melainkan yang paling bertaqwa. Muhammad SAW untuk membela kelompok  masyarakat yang tertindas. Pertama, membangkitkan harga diri rakyat kecil dan dhu’afa, membangkitkan harga diri fuqara dan masakin, sebab mereka adalah kelompok masyarakat yang paling sering direndahkan, dicaci, dan dimaki. Untuk menumbuhkan harga diri kaum muslimin dhu’afa ini, Rasulullah memilih hidup di tengah masyarakat para hamba sahaya dan orang miskin. Kepada para sahabatnya yang menanyakan tempat yang paling baik menemuinnya, beliau menjawab: ”carilah aku di antara orang-orang lemah di antara kamu. Carilah aku di tengah-tengah kelompok kecil di antara kamu.” Para sosiologi berpendapat, bahwa dalam suatu masyarakat yang tertindas terjadi proses dehumanisasi kaum lemah. Kedua, sebagai pemimpin orang kecil, sebagai pembebas kaum dhu’afa, Rasulullah memilih hidup seperti mereka. Ia hidup sederhana. Karena ia tahu, sebagian besar sahabatnya masih menderita. Ditahannya rasa lapar berhari-hari, karena ia mengerti bahwa sebagian sahabatnya juga sering mengalami kelaparan.[6]
Muhammad SAW telah berhasill membangun suatu tatanan sosial yang modern dengan memperkenalkan nilai-nilai kesetaraan universal, semangat kemajemukan dan multikulturalisme, rule of law, dan sebagai sistem sosial yang diakui terlalu modern dibanding zamanya itu dirintis oleh Muhammad SAW dan kemudian dikembangkan oleh para khalifah sesudahnya. Muhammad mampu menyeleraskan berbagai strategi untuk mencapai tujuannya dalam menyiarkan ajaran islam dan membangun tatanan sosial yang baik dan modern. Ketika banyak para sahabat yang menolak kesediaan beliau untuk melakukan perjanjian perdamaian hudaybiyah yang dipandang menguntungkan pihak musrikin, beliau tetap bersikukuh dengan kesepakatan itu. Terbukti, pada akhirnya perjanjian tersebut berbalik menguntungkan kaum muslimin dan pihak musrikim meminta agar perjanjian itu dihentikan. Beliau juga dapat membangun sistem hukum yang kuat, hubungan diplomasi dengan suku-suku dan kerajaan disekitar madinah, dan sistem pertahanan yang kuat sehingga menjelang beliau wafat madinah tumbuh menjadi negara baru yang cukup berpengaruh pada waktu itu. Beliau juga dengan bijak mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan anshar ketika mulai membangun masyarakat madinah. Beliau mengangkat para pejabat sebagai amir (kepala daerah) atau hakim berdasarkan kompetensi dan good track record yang mereka miliki, tidak heran dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama (sekitar 10 tahun), beliau telah mampu mendirikan dasar-dasar tatanan sosial masyarakat modern. Muhammad SAW dikenal kuat berpegang pada keputusan yang telah disepakati. Menjelang perang uhud, suara-suara yang menginginkan agar kaum Muslim ‘menyambut’ pasukan Musyrik diluar Madinah lebih banyak daripada yang ingin bertahan di pinggiran Madinah. Rasulullah SAW pun pada awalnya memilih pendapat yang kedua. Tetapi karena mengikuti prosedur suara terbanyak, akhirnya diambil keputusan untuk menyongsong pasukan Makkah di luar Madinah. Belakangan para sahabat menyadari bahwa mereka terlalu memaksakan kehendak mereka terhadap Muhammad SAW dan meminta beliau untuk untuk memutuskan apa yang menurut beliau dan Allah merupakan jalan terbaik. Menyikapi hal ini Muhammad menjawab dengan tegas: “Kedalam pembicaraan yang semacam inilah saya ajak kalian menolak. Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan baju besinya lalu akan menaggalkan kembali sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dan musuhnya. Perhatikan apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian dan ikutilah! Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu. Rasulullah SAW menjadi panutan dalam melaksanakan nasihat dan saran-sarannya demikian juga dalam pribadi yang mulia. Beliau adalah seorang yang dermawan kepada siapapun yang datang dan meminta pertolongan jauh sebelum mengatakan,” Tangan diatas lebih mulia dari tangan dibawah.”beliau memikul batu, mengambil sekop tanah ketika membangun Masjid Nabawi, membawa linggis ketika menggali parit (khandaq) waktu mengajak umatnya,” mari membangun bersama.”[7] 
Muhammad SAW mengingatkan tentang perlunya kompetensi penguasaan terhadap diri sendiri. Misalnya ketika pulang dari perang badar Al-Kubra, beliau berkata kepada para sahabat,”kita pulang dari perang yang lebih kecil menuju perang yang lebih besar.”para sahabat saling berpandangan dan bertanya-tanya,”Bukankah perang yang baru dilalui adalah suatu perang yang besar?”salah satu sahabat bertanya,”Apa perang yang lebih besar itu, wahai Rasulullah?”jawab beliau,”perang melawan hawa nafsu.”peperangan melawan hawa nafsu adalah peperangan melawan diri sendiri. Self leadership pada intinya adalah kemampuan diri dalam mengendalikan hawa nafsu. Seorang bijak berkata,”Setiap musuh yang Anda perlakukan dengan sopan akan menjadi kawan kecuali nafsu. Semakin lunak anda padanya, ia akan menjadi semakin melawan.” Inilah kepemimpinan kita terhadap diri kita sendiri. Self leadership ini sangat ditegaskan oleh Rasulullah SAW beliau bersabda,”setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya.”[8]

 
oleh : Kader KPMDB Wilayah Surakarta

[1] Nawawi H.hadari.Kepemimpinan Menurut Islam.Yogyakarta :Gadjah Mada University Press.2001.hal 28
[2] Baharudin dan umiarso.Kepemimpinan pendidikan islam(Yogyakarta:AR-RUZZ MEDIA.2012)hal.47
[3] Ranuwiharja A. Dahlan. Menuju Pejuang Paripurna. Jakarta :PIMPINAN KOLEKTIF MAJELIS NASIONAL KAHMI.2012. hal:75

[4] Nawawi H.hadari.Kepemimpinan Menurut Islam.Yogyakarta :Gadjah Mada University Press.2001.hal 141-142
[5] Baharudin dan Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan Islam.Jogjakarta:AR-Ruzz media.2012.hal 38-40
[6] Rahmat.Jalaludin.1994.Islam Alternatif.Bandung: Penerbit Mizan.hal 81-83

[7] Antonio.Muhammad Syafii.2007.Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager.Jakarta:Tazkia Multimedia & ProLM centre.hal 20-22
[8] Ibid.hal 67-68

0 komentar:

Posting Komentar