er

Kamis, 22 Mei 2014

REFLEKSI SETENGAH ABAD : MEMBANGUN KEMBALI KPMDB WILAYAH SURAKARTA



KPMDB adalah organisasi kekeluargaan pelajar mahasiswa brebes yang bertujuan untuk Mempersiapkan kader-kader intelektual, yang bertanggung jawab dan berperan dalam kemajuan pembangunan daerah. Meningkatkan dan mempererat rasa kekeluargaan dalam menuju kedewasaan berfikir. Menjalin keselarasan hubungan atau pelayanan terhadap masyarakat secara aktif melalui kegiatan yang terarah dan kreatif dalam pelaksanaan pengalaman ilmu. Ikut berperan serta aktif dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan cita-cita Bangsa dan Negara Indonesia. Tujuan itu tertertuang dalam anggaran dasar KPMDB BAB IV pasal 7, berbicara masalah intelektual meminjam istilah dari antonio gramsci bahwa kaum intelektual dibagi 2 yaitu intelektual tradisional dan intelektual organic. Menurutnya setiap orang sebenarnya adalah seorang intelektual namun tidak semua orang menjalankan fungsi intelektualnya di masyarakat. Yang pertama yaitu Intelektual Tradisional dimana intelektual ini terlihat independen, otonom, serta menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Mereka hanya mengamati serta mempelajari kehidupan masyarakat dari kejauhan dan seringkali bersifat konservatif (anti terhadap perubahan). Sedangkan yang kedua adalah Intelektual Organik, mereka adalah yang sebenarnya menanamkan ide, menjadi bagian dari penyebaran ide-ide yang ada di masyarakat dari kelas yang berkuasa, serta turut aktif dalam pembentukan masyarakat yang diinginkan.
                                                                                                    
Dalam hal ini KPMDB berada pada posisi strategis sebagai intelektual organik, karena didalamnya pelajar dan mahasiswa, sudahkah KPMDB mengarah pada pembentukan kader-kader intelektual dalam pendidikan organisasinya? Inilah yang perlu dirumuskan bersama bagaimana sistem organisasi ini mengarah pada penanaman kesadaran sebagai mahasiswa, untuk berorganisasi dan kecakapan intelektual untuk menunjang perannya didalam masyarakat serta kecintaannya pada daerah khususnya dan nusantara pada umumnya?
Selama ini kpmdb hanya berada di zona nyaman mempertahankan organisasi supaya tetap berdiri namun belum terlihat perbaikan sistem sampai pada pendidikan kader-kader daerah melalui training-training yang terarah. Kpmdb membangun persaudaraan dan kesatuan sesama mahasiswa dari brebes adalah baik, namun perlu ada kebijakan dari pemimpin KPMBD yang berada dipusat ataupun wilayah untuk membangun tradisi intelektual yang selama ini sudah hilang, budaya membaca, diskusi dan menulis dibumikan kembali untuk meningkatkan wawasan keilmuan pada setiap kader KPMDB. Menurut cak nur kemampuan teknis yang tinggi memerlukan wawasan keilmuan yang mendalam disertai dengan keterlibatan yang tulus dalam masalah-masalah kemasyrakatan dan kebangsaan.
Tak terlepas dari keadaan KPMDB diatas, merupakan suatu tanggung jawab bersama untuk membenahi KPMDB luar dalam melalui peran dan fungsi yang dimiliki semua elemen yang ada, bukankah akan menjadi kebanggan ketika melihat senior ataupun junior itu baik bahkan dapat berprestasi dimasyarakat (kampus ataupun negara). Pendidikan organisasi yang belum terarah dan tertata, perkaderan yang belum punya arah, dan wawasan keilmuan yang masih dangkal adalah tugas bersama bagaimana merumuskan permasalah menjadi sebuah solusi yang dapat dijalankan. Perubahan bukan berangkat dari suatu penguasa ataupun satu perorangan melainkan berangkat dari kebutuhan masing-masing individu.
Seyognyanya ketika kita sepakat bahwa organisasi adalah sekumpulan organ-organ yang mempunyai tujuan, maka dari itu merupakan hal dasar mengembalikan semuanya pada tujuan organisasi. Melihat selama ini KPMDB dalam keadaaan surut, delima tak tertahankan bagi semua kader dan merupakan faktor yang menyebabkan mahasiswa-mahasiwa brebes tidak mau terhimpun dalam kesatuan keluarga yang dibangun pada tahun 1964. Perlu formula baru menanggapi semua itu, perlu pemikiran mendalam memecahkan solusi.
Diskusi – diskusi mengenai keadaan KPMDB sekarang sudah mulai genjar dilakukan, ada yang menyimpulkan bahwa KPMDB kehilangan RUHnya sebagai organisasi kedaerahan ataupun intelektual. Hal ini seharusnnya menjadi pertanyaan pada setiap kader didalamnya yaitu mengapa demikian ? dan bagaimana mengembalikannya?, forum – forum intelektual di kpmdb yang sangat minim merupakan salah satu gejala menghilangnya ruh organisasi ini kemudian kerangka berfikir dalam setiap kader belum terbentuk tentang arti KPMDB, pengaruh perorangan di KPMDB adalah faktor dominan, yang mempenmgaruhi dinamika di kpmdb dan sudah seharusnya kpmdb menjadi nafas setiap kader dalam bergerak, meluruskan niat adalah urgent dilakukan sekarang. Semua amal tergantung pada niatnya.

                                                            Oleh: Hamdan Wijaya (kader KPMDB Wilayah Surakarta) 

Agenda Mendesak: Menolak Lupa Sejarah


            Jangan sekali- kali melupakan sejarah, itulah kata yang sering didengungkan oleh founding father republik ini. Mengapa dilarang melupakan sejarah? Bagaimana seandainya ketika lupa akan sejarah? Adalah salah satu hal pertama untuk menyelidiki bagaimana peristiwa itu bisa terjadi, dan kegunanaanya mengkaji suatu peristiwa ketika cara berfikirnya pragmatis?
        Setiap sesuatu pasti punya cerita, entah itu cerita pribadi, bangsa ataupun organisasi, sejarah sebenarnya mengajak menyusuri ruang-ruang lampau, menyentuh nilai-nilai dan memetiknya sebagai landasan dalam berjuang, ketika memang demikian, tentu sejarah adalah perlu dikaji dan dipahami secara bersama jika menyangkut orang banyak. KPMBD adalah organisasi keterpelajaran dengan nafas kedaerahanya tentu juga memiliki cerita panjang yang perlu diselidiki dan dikaji bersama demi mendapatkan nilai-nilai didalamnya. Perjalanan KPMDB dalam menempuh hampir setengah abad pasti syarat dengan moment-moment penting dan tragedi-tragedi yang terjadi, namun sumber-sumber untuk membaca dan mengantarkan pada imajinasi tentang perjalanan kpmdb sampai sekarang ini sangatlah minim bahkan hampir tidak ada, terlalu jauh ketika membicarakan sejarah kpmdb secara menyeluruh karena kpmdb memiliki banyak wilayah seperti jogja, solo, semarang, purwokerto, pekalongan, bregas, cirebon, malang, bandung, jakarta, dan bogor pastinya masing-masing wilayah memilikli ciri khas dan sejarah permulaan sampai sekarang yang berbeda dan unik.
            Teringat dengan apa yang pernah di usulkan oleh alumni  dalam forum diskusi KPMDB tengah malam pada momentum makrab kpmdb wilayah surakarta 2014 di tawangmangu, bahwa kpmdb perlu mengumpulkan cerita-cerita dari awal berdiri sampai KPMDB Wilayah Surakarta sekarang. Melihat fenomena KPMDB sekarang memang sangat perlu untuk kembali pada jalur awal mula organisasi ini berdiri, dan menolak lupa akan sejaranya, pernah dengar suatu pepatah bahwa bangsa besar adalah bangsa yang menngingat dan menghargai sejarahnya. Salah satu problema untuk membentang kaitkan benang panjang dari KPMDB dulu hingga saekarang adalah tidak adanya bukti tertulis mengenai sejarah KPMDB sekarang. Langkah awal untuk mengembalikan KPMDB pada identitasnya sebagai organisasi pergerakan keterpelajaran yang membawa nafas kedaerahan adalah sejarah.
          Setiap periode KPMDB pastilah punya warnanya sendiri karena orang-orang yang berada didalamnya selalu berubah dan merupakan konsekuensi logis dari organisasi agar tetatp eksis dan memberi warna dalam perjalanannya. Akan tetapi untuk menolak lupa sejarah dan tetap pada subbordinasi keluarga besar KPMDB Wilayah Surakarta belum cukup alat untuk menenun setiap periode yang berlangsung, alternatif dari pada itu adalah menggalakan penulisan sejarah setiap periodenya. Karena apa? Sangat Tidak mungkin dalam suatu periode tidak mendapatkan suatu permasalahan atau tantangan, sangat tidak mungkin dalam suatu periode tanpa adanya dinamisasi didalamnya. Gagasan penulisan sejarah KPMDB Wilayah Surakarta adalah kebutuhan organisasi, mau tidak mau, suka tidak suka harus dipenuhi, karena KPMDB bukan untuk tahun sekarang atau kepengurusan periode ini saja. KPMDB akan selalu ada dan mewarnai wilayah surakarta.
             Gemilangnya organisasi, peristiwa apa saja yang terjadi dan permasalahan apa saja yang dihadapi dan orientasi KPMDB dalam kurun waktu tertentu  sangat perlu untuk diketahui secara turun temurun, manfaaat dari penulisan sejarah dan sejarah itu sendiri adalah mengetahui bagaimana pola laku, pola pikir, dan pola tingkah pada suatu masa dalam mengambil sikap dan merupakan pengikat akan satu kesatuan yang akan terus ada tanpa keterputusan.
           Sebagaimana pramoedya ananta toer bilang bahwa Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Mari kita bersama melawan lupa sejarah. reforma, menulis sejarah KPMDB Wilayah Surajkarta adalah agenda mendesak yang perlu dilakukan oleh orang-orang yang pernah hidup dan mencitai KPMDB Wilayah Surakarta agar KPMDB tetap ada dimasyarakat (kampus) dan didalam sejarah.

                                                                     Oleh: Hamdan Wijaya (kader KPMDB Wilayah Surakarta)

Kamis, 15 Mei 2014

Pendidikan dan Kepribadian


Para pendiri bangsa menyadari benar arti pentingnya pendidikan bagi kehormatan dan kemulian manusia dan bangsa. Pujangga besar Melayu, Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam 12-nya itu, menekankan tiga hal penting dalam kehidupan manusia yaitu ilmu, akal dan adab. “Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya.” tulis Raja Ali Haji.
 
Krisis multidimensional yang mendera Indonesia saat ini bukanlah sembarang krisis yang bisa dihadapi secara tambal sulam. Krisis ini begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya, menyerupai zaman kalabendu yang penuh prahara, pertikaian, kedunguan, kehancuran tata nilai dan keteladanan. krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru. Peribahasa mengatakan, ”where there is no vision, the people perish.” Visi ini harus mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional ini berakar jauh pada penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Suatu usaha “national healing” perlu dilakukan dengan membawa nilai-nilai spiritual dan etis ke dalam wacana publik. Dengan kata lain, kita memerlukan penguatan etika politik dan pertanggungjawaban moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Penguatan etika dalam kehidupan publik ini pada gilirannya harus berakar kuat pada proses persemaian dan pembudayaan dalam sistem pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, non-formal maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat. Karakter yang mencerminkan kualitas kepribadian dan merit. Yakni kepribadian yang terkait dengan kapasitas moral seseorang, seperti keterpercayaan dan kejujuran; serta kekhasan kualitas seseorang yang membedakan dirinya dari orang lain, yang membuatnya berkemampuan menghadapi kesulitan, ketidakenakan dan kegawatan (aktualitas potensi diri).

Setahun setelah Pemilihan Umum 1955 yang tak menentu, Presiden Soekarno dalam pidato peringatan hari kemerdekaan menyatakan, “Aku belum kehilangan kepercayaan kepada bangsaku sendiri!” Selanjutnya dijelaskannya bahwa bangsa Indonesia telah melampaui dua taraf perjuangan. “Taraf physical revolution ” (1945-1949) dan “taraf survival” (1950-1955). Lantas ia tandaskan, “Sekarang kita berada pada taraf _investment_, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan mental investment.”

Dalam pandangan Soekarno, investasi manusia dan material amat penting. Akan tetapi, yang paling penting adalah investasi mental. Investasi pengetahuan dan material tidak bisa menjadi dasar persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari investasi mental. Tanpa kekayaan mental, upaya-upaya pemupukan modal manusia dan material hanya akan melanggengkan perbudakan. Dikatakannya, “Lebih baik kita membuka hutan kita dan menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual serambut pun daripada kemerdekaan kita ini untuk dolar, untuk rubel.” Ditambahkannya pula, “Mental kita harus mengangkat diri kita di atas kekecilan jiwa, yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran mempertentangkan urusan tetek bengek yang tidak penting.”

Itulah sebabnya, mengapa Bung Karno sangat menekankan program “Nation and Character Building”. Dalam pandangannya, Indonesia adalah bangsa besar, namun seringkali memberi nilai terlalu rendah pada bangsanya alias bermental kecil; masih belum terbebas dari mentalitas kaum terjajah yang sering mengidap perasaan rendah diri (minderwaardigheidscomplex). Bung Karno menyadari bahwa sebagai akibat penjajahan dan feodalisme selama ratusan tahun, terbentuklah karakter rakyat yang disebut “abdikrat,” meminjam istilah dari Verhaar dalam bukunya Identitas Manusia. Akibatnya, terbentuklah mentalitas pecundang dengan penuh perasaan tak berdaya dan tidak memiliki kepercayaan diri atau self-confidence. Memasuki alam kemerdekaan, Bung Karno menyerukan agar watak demikian harus dikikis habis. Rakyat harus berjiwa merdeka, berani berkata “ini dadaku, mana dadamu”; berani mandiri dan menghargai diri sendiri.

Dalam perkembangannya, rezim pembangunan terlalu memprioritaskan investasi material (material investment), yang bersifat kuantitatif; kurang memberikan perhatian pada investasi mental. Pelajaran moral Pancasila memang digalakan, namun cenderung bias kognitif lewat butir-butir hapalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menggugah nurani. Kita memerlukan pendidikan karakter secara holistik dan efektif. Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan kewargaan, dan pengembangan karakter. Setiap komponen memberikan perbedaan tekanan tentang apa yang penting dan dan apa yang semestinya diajarkan.
 
Pendidikan moral menitikberatkan dimensi etis dari individu dan masyarakat serta memeriksa bagaimana standar-standar kebenaran dan kesalahan dikembangkan. Agama dan filsafat menyediakan fondasi untuk diskusi-diskusi moral dan pertimbangan-pertimbangan etis tentang bagaimana restorasi nilai-nilai kebajikan berlangsung di lingkungan sekolah.

Pendidikan kewargaan (civic education) memberikan kesempatan bagi keterlibatan aktif dalam proses-proses demokratis yang berlangsung di sekolah dan komunitas. Basis pengetahuannya mencakup prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang dapat digunakan oleh siswa untuk memeriksa hak-hak sipil dan tanggung jawab mereka serta untuk berpartisipasi dalam komunitas yang majemuk demi kebajikan bersama. Watak sipil, karakteristik warga negara yang baik dalam sistem demokrasi diamati dan ditekankan baik dalam pembelajaran di kelas maupun dalam aktivitas ekstra kurikuler.

Pengembangan karakter adalah suatu pendekatan holistik yang menghubungkan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan sipil dari kehidupan siswa. Sikap dan nilai dasar dari masyarakat diidentifikasi dan diteguhkan di sekolah dan komunitas. Pendidikan bersifat sarat nilai, karena masyarakat menentukan apa-apa yang akan dan tidak akan diteladani. Moral ditangkap (caught) lewat keteladanan dan pengalaman konkret bukan diajarkan (taught) sekadar hapalan.

Diambil dari REPUBLIKA.CO.ID,Rabu, 14 Mei 2014, Oleh: Yudi Latif pada Rabu, 14 Mei 2014,pukul 23:41.

Pendidikan dan Kesetaraan



Akses pendidikan serta keberadaan atau ketiadaan bentuk-bentuk pendidikan tertentu dalam sebuah masyarakat mencerminkan bukan saja skemata bagi pembedaan kelas dan prinsip-prinsip fundamental dari kemapanan tertib sosial, namun juga menjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang kompetitif. Konsepsi pendidikan sebagai sebuah medan gaya dari relasi-relasi kuasa yang penuh konflik ditunjukkan dengan baik oleh situasi pendidikan selama kekuasaan kolonial Belanda. Di bawah kekuasaan itu, pendidikan semakin meneguhkan perbedaan status. Dengan begitu, pendidikan menjadi faktor yang mempersatukan orang-orang dalam aneka kelompok sekaligus yang menjadi sekat pemisah antara kelompok-kelompok itu.
 
Bagi watak dasar dari pandangan dunia kolonial, usaha pendidikan ini mengandung sebuah dilema. Di satu sisi, usaha pendidikan dipandang penting untuk mendukung ekonomi-politik industrialisasi dan birokrasi kolonial. Di sisi lain, pendidikan mengandung ancaman potensial bagi ‘kepercayaan mistis’ mengenai superioritas kolonial. Dilema semacam itu dipecahkan dengan membangun pendidikan yang didasarkan pada prinsip segregasi etnik dan hirarki status. Dengan dasar segregasi dan pembedaan status ini, sifat dari kebijakan-kebijakan awal dalam pendidikan di Hindia adalah anti-asimilasi, elitis dan dualistik.

Perjuangan untuk menjebol diskiminasi dalam dunia pendidikan ini pertama-tama diperjuangkan oleh kaum guru. Sampai akhir abad ke-19, peran para guru dalam mempromosikan wacana kemadjoean sangatlah menonjol, setidaknya karena dua alasan. Pertama, profesi guru hingga masa ini menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai para pendidik, mereka merupakan pihak yang paling merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara-saudara sebangsanya. Kedua, fakta bahwa profesi guru kurang dihargai jika dibandingkan dengan posisi-posisi administratif mungkin telah menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator dari konsep kemadjoean dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan privilese sosial. Peran yang menonjol dari para guru ini menunjukkan bahwa ‘intelektual organik’ dari bibit inteligensia pada akhir abad ke-19 ini terutama berasal dari lingkaran-lingkaran para guru.

Para guru melancarkan tuntutan dan kritik mereka terutama lewat majalah-majalah pendidikan, seperti _Soeloeh Pengadjar_ di Probolinggo (yang pertama kali terbit pada tahun 1887) dan Taman Pengadjar di Semarang (terbit sekitar tahun 1899-1914). Majalah-majalah itu memainkan peran yang signifikan dalam mengartikulasikan aspirasi-aspirasi guru pribumi. bagi penghapusan diskriminasi dalam pendidikan. Seiring dengan itu, persis menjelang akhir abad ke-19, perkumpulan guru paling berpengaruh terbentuk, yang diberi nama klub Mufakat Guru. Cabang-cabang dari klub ini bermunculan di berbagai kabupaten dan kawedanan di Jawa. Tujuan dari Mufakat Guru pada pokoknya ialah ‘untuk membuka jalan bagi para guru untuk bersatu dan berdiskusi mengenai permasalahan dan isu kemadjoean.

Tuntutan utama dalam proyek emansipasi kaum guru ini berkisar pada upaya perjuangan kata/bahasa. Yakni peluasan akses terhadap kepustakaan serta peningkatan pengajaran bahasa Belanda di sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi dan pengajaran bahasa Belanda bagi semua anak pribumi.

Dengan trajektori kemadjoean yang telah dirintis kaum guru, sedini awal dekade pertama abad ke-20, terjadilah fase formatif ruang publik modern, sebagai ruang memperjuangkan kesetaraan sosial. Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ‘kemajuan’, Bintang Hindia, Abdul Rivai memperkenalkan istilah ‘bangsawan pikiran’. Dikatakan, “Tak ada gunanya lagi membicarakan ‘bangsawan usul’, sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek-moyang kita keturunan bangsawan, maka kitapun disebut bangsawan, meskipun pengetahuan dan capaitan kita bagaikan katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan ‘bangsawan pikiran’.”

Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Natsir dibesarkan. Semua tokoh-tokoh ini lahir pada dekade pertama abad ke-20, dan semuanya tak bisa dikatakan sebagai anak-anak priyayi tinggi. Sukarno hanyalah anak priyayi-rendahan yang mujur bisa masuk ELS karena pertolongan seorang guru Belanda; Hatta adalah anak ulama-pedagang, yang beruntung bisa diterima di ELS karena kekayaan keluarganya; Sjahrir berlatar sedikit lebih baik, ayahnya seorang jaksa pribumi sehingga diterima di ELS; Keluarga Natsir lebih rendahan lagi, ayahnya hanyalah seorang jurutulis kontelir, yang membuatnya hanya diterima di HIS. Alhasil, mereka bisa memasuki pendidikan sistem Eropa, berkat kegigihan generasi sebelumnya dalam menciptakan tanda; tanda yang membuat Belanda terpaksa mengendurkan persyaratan keturunan. Sejarah lantas mencatat, berkat akses terhadap pendidikan modern-lah anak-anak dari kalangan priyayi rendahan ini bisa melesat menjadi pemimpin pergerakan modern yang berhasil mengantarkan Indonesia menuju gerbang kemerdekaannya.

Kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan semangat kebebasan, kesetaraan, dan persaudaran. Berakhirnya kolonialisme menim­bulkan harapan kuat di kalangan rakyat bahwa batasan-batasan dan diskriminasi-diskriminasi sosial yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial akan sirna.  Menyadari bahwa kualifikasi pendidikan merupakan sarana kuat untuk mengangkat status sosial selama periode kolonial, muncullah kesadaran politik yang kuat pada orang-orang dari kelompok-kelompok status yang berbeda untuk menghapuskan regulasi-regulasi yang membatasi dan memperluas pilihan-pilihan masyarakat dalam bidang pendidikan. Komitmen politik untuk memenuhi hasrat semacam itu dimaktubkan dalam pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.”

Oleh karena itu, takala kita melihat ada tanda-tanda bahwa dunia pendidikan mengarah pada pembelahan dan diskriminasi sosial baru atas dasar kekuatan daya beli, kita harus berjuang mengatasi kuman-kuman degenarasi ini, dan mengembalikan pendidikan ke mandat konsitusi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif Rabu, 07 Mei 2014, 06:00 WIB pada Rabu, 14 Mei 2014,pukul 23:46.