er

Sabtu, 19 Oktober 2013

Ada dengan logatmu?

        Maya dan Arif (keduanya pseudonyms) berkenalan melalui Facebook. Mereka tinggal di dua kota yang berbeda. Maya tinggal di kota J, sedangkan Arif di kota P. Setelah membaca profil masing-masing, saling melihat foto, dan beberapa kali chating via fasilitas yang tersedia pada situs jejaring sosial yang sedang ngetrend di Indonesia tersebut, mereka memutuskan untuk tukar-menukar nomor handphone. Namun hingga beberapa bulan setelah bertukar nomor HP, mereka hanya saling berkirim pesan pendek alias SMS-an. Belum ada yang mengambil inisiatif untuk berbicara langsung. Tiba pada suatu ketika, Arif merasa sudah saatnya hubungannya dengan Maya dibawa ke tahap berikutnya. Sembari mengumpulkan segenap keberanian yang dia miliki, Arif memutuskan menelepon langsung gadis dunia mayanya yang dia kagumi untuk mengungkapkan perasaannya. Dia sangat yakin usahanya akan berhasil. Keyakinannya bukanlah tanpa alasan. Dari hasil chating dan SMS-an selama ini, dia menyimpulkan bahwa Maya juga menyimpan kekaguman yang sama padanya, walaupun keduanya belum pernah bertemu. 

     Tapi sungguh di luar dugaan, kenyataan berkata lain. Saat Arif menelepon, ternyata Maya tidak seantusias biasanya. Sungguh berbeda dengan Maya di situs jejaring sosial ciptaan Mark Zuckerberg atau Maya ketika ber-SMS ria. Bahkan beberapa hari setelah Arif menelepon, Maya sudah tidak lagi membalas SMS atau sapaan Arif saat dia online di Facebook. Lebih menyedihkan lagi, dua minggu berlalu sejak Arif menelepon, Maya memutuskan untuk menghapus nama Arif dari friend list-nya. Kisah di atas merupakan kisah nyata yang dialami Maya, yang kebetulan saya kenal secara pribadi. Cerita ini diceritakan langsung kepada saya oleh Maya di suatu kesempatan curhat. Saat saya tanyakan kenapa dia memutuskan hubungan dengan sahabat mayanya justru setelah Arif menelepon dan bukannya pada awal-awal perkenalan mereka, Maya dengan enteng menjawab, “Ngomongnya ngapak banget, persis Parto Patrio dan Mas Heri yang jaga warteg di depan kantor. Logatnya bikin ill feel.” 

       Cerita Maya dan Arif di atas semakin menguatkan fakta bahwa bahasa memiliki fungsi untuk merefleksikan identitas pemakainya. Seperti yang dikemukakan oleh para ahli sosiolinguistik, setiap penutur bahasa merupakan anggota masyarakat atau kelompok sosial. Oleh karena itu, dia harus berperilaku sama dengan anggota-anggota kelompok lainnya untuk menandai keanggotaannya. Seseorang digolongkan dalam kelompok masyarakat tertentu atau menganut ideologi tertentu bisa terlihat dari bahasa yang dia gunakan, khususnya aksen atau dalam istilah yang lebih membumi disebut logat. 

       Aksen sangat mungkin diasosiasikan dengan lokasi geografis (misalnya apakah penuturnya berasal dari Surabaya atau Medan) atau dihubungkan dengan kelompok sosial tertentu (misalnya apakah penuturnya berlatar belakang kelas atas atau kelas menengah). Saat menggunakan satu bahasa, hampir bisa dipastikan bahwa aksen memberikan informasi tentang bagaimana dan di mana penuturnya mempelajari bahasa yang dia gunakan. Dengan demikian, ini akan memberikan kesan kepada lawan bicara terkait identitas si penutur. Hal ini sejalan dengan hasil riset ekstensif Lippi-Green (1997), yang mengekspos bagaimana aksen terkait erat dengan pembentukan identitas (identity formation) si penutur suatu bahasa. Kita sebagai pendengar memang bisa mengungkapkan banyak hal hanya dari menyimak aksen lawan bicara kita, seperti latar belakang geografis, sosial, pendidikan, dan lain-lain. Sayangnya, beberapa masalah bisa muncul karena aksen-aksen tertentu bisa saja disalah pahami dan dipandang negatif.

         Hal ini berlaku bagi penutur semua bahasa, tidak terkecuali penutur Bahasa Indonesia (BI). Banyak penutur BI yang ‘tak beraksen’ sering mengeneralisasi rekan-rekan penutur BI mereka yang beraksen dengan dengan karakter-karakter yang kadang kala bias. Tidak jarang pula, stereotip-stereotip ini pada derajat tertentu mendorong terjadinya diskriminasi. Ini diperburuk dengan kenyataan bahwa stereotip ini dieksploitasi melalui budaya-budaya populer (pop culture) melalui sinetron, film, musik, dan lain-lain. Kemudian melalui media ini, stereotip-srereotip ini diinternalisasi secara tidak sadar oleh penikmatnya. Jika anda penonton setia sinetron atau film Indonesia, anda mungkin seringkali menyaksikan penutur BI dengan aksen Bahasa Jawa yang medhok bisa diasosiasikan dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu, misalnya penjual jamu atau pembantu; Penutur BI dengan aksen Indonesia Timur (Ambon dan Papua) hanya pas berprofesi sebagai tukang pukul atau preman atau debt collector; Atau kasus Arif yang berlogat khas Banyumasan, yang oleh Maya diasosiasikan dengan penjaga warteg dan pentolan kelompok lawak terkemuka di Indonesia . Dalam sosiolinguistik, fenomena ini disebut dengan istilah linguistics profiling. 

       Setiap manusia biasanya memiliki insting yang kuat tentang bagaimana lawan bicara mereka berbicara. Kemudian insting ini digunakan sebagai basis justifikasi dan respon kepada lawan bicaranya yang bisa positif, bisa juga negatif. Lippi-Green (1997) menyatakan bahwa aksen kadangkala tidak selalu relevan dan memainkan peran dalam interaksi. Menurutnya, jika penutur berbicara ‘tanpa aksesn’, proses pembentukan stereotip terjadi di dalam pikiran si pendengar yang boleh jadi disebabkan oleh proses internalisasi secara tak sadar yang saya sebutkan di atas. Dalam sebuah riset yang dilakukan Kapoor (seperti yang dikutip dari Lippi-Green, 1997) diceritakan tentang seorang gadis keturunan India yang diminta untuk berbicara lebih pelan oleh pramuniaga sebuah supermarket seolah-seolah dia berbicara Bahasa Inggris dengan aksen India yang kental hanya karena penampilan fisiknya, padahal dia adalah native speaker Bahasa Inggris. Dalam cerita ini jelas bahwa aksen diabaikan oleh sang pramuniaga, disebabkan perhatiannya telah lebih dahulu teralihkan oleh asumsi dan miskonsepsi tentang penutur Bahasa Inggris keturunan India yang tertanam dalam pikirannya dan telah dimiliki jauh sebelum interaksi tersebut terjadi. 

      Ketika kita berbicara tentang aksen, satu pertanyaan yang harus diingat adalah “mungkinkah penutur suatu bahasa berbicara tanpa aksen?” Jawaban dari pertanyaan ini bisa bermacam-macam, tapi menurut hemat saya setiap penutur pasti memiliki aksen. Apalagi bahasa yang memiliki penutur relatif besar seperti BI. BI digunakan oleh penutur dengan aksen yang berbeda di lokasi geografis berbeda. Bahkan orang yang mengklaim atau merasa dirinya menggunakan bahasa ‘standar’ atau ‘tak berlogat’ tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa dia juga memiliki aksen.  
      
        Hanya saja yang membedakan adalah bentuk aksen yang berprestise tinggi yang dia gunakan telah mengalami proses -yang disebut oleh Schmidt (2002) dengan istilah- socially constructed normalization. Lebih lanjut, beberapa aksen yang saat ini digunakan oleh penutur dengan latar belakang sosial dan pendidikan yang tinggi diyakini berasal dari jenis bahasa rendahan (lower variety) yang telah mengalami perubahan baik secara sosial maupun historis. Dalam kasus BI, yang sering dikatakan BI ‘standar’ adalah yang digunakan oleh para penyiar-penyiar berita televisi dan radio atau BI dialek Jakarta (catatan: bukan dialek Betawi-pen). Sehingga penutur BI yang tidak memenuhi kriteria-kriteria standar BI ‘tak berlogat’ (pengucapan, intonasi, pilihan kata, tata kalimat, dan lain-lain), seringkali mengalami stigmatisasi. 
     
        Stigmatisasi ini seringkali menyebabkan penutur yang merasa dirinya menggunakan BI ‘berlogat’ merasa inferior, mengalami krisis kepercayaan terkait cara dia berbicara, dan lain sebagainya. Tak jarang ada pula dari mereka berusaha berbicara sebagaimana layaknya penutur BI ‘tak berlogat’, walaupun seringkali terdengar menggelikan dan kadang-kadang konyol.
      
          Sudah selayaknya kita tak mengasumsikan bahwa orang-orang yang memiliki latar belakang geografis yang sama lantas menjamin mereka berbicara dengan aksen yang sama pula. Kita juga tidak bisa menyamaratakan –misalnya- orang yang berasal dari Ambon berbicara dengan aksen BI yang sama, apalagi sampai menghakimi kalau mereka memiliki perilaku sosial budaya yang seragam pula. Misalnya perempuan dengan logat Jawa hanya bisa jadi penjual jamu; Laki-laki dengan aksen Madura hanya cocok berjualan sate; Orang dengan logat Batak paling banter jadi sopir Metromini; penutur BI dengan aksen Sasak hanya bisa kawin cerai dan lain sebagainya..Oleh karena itu, akan sangat bijak jika kita tidak melabeli satu jenis aksen lebih baik dari aksen lainnya untuk menghidari prasangka atau stereotip negatif terhadap aksen-aksen tertentu.

Diambil : pustakapikiran.wordpress.com