Para pendiri bangsa menyadari benar
arti pentingnya pendidikan bagi kehormatan dan kemulian manusia dan bangsa.
Pujangga besar Melayu, Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam 12-nya itu,
menekankan tiga hal penting dalam kehidupan manusia yaitu ilmu, akal dan adab.
“Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga
jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya.” tulis Raja Ali Haji.
Krisis multidimensional yang mendera
Indonesia saat ini bukanlah sembarang krisis yang bisa dihadapi secara tambal
sulam. Krisis ini begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya, menyerupai
zaman kalabendu yang penuh prahara, pertikaian, kedunguan, kehancuran
tata nilai dan keteladanan. krisis yang kita hadapi
mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekadar politics
as usual. Kita memerlukan visi politik baru. Peribahasa mengatakan, ”where
there is no vision, the people perish.” Visi ini harus mempertimbangkan
kenyataan bahwa krisis nasional ini berakar jauh pada penyakit spirit dan
moralitas yang melanda jiwa bangsa. Suatu usaha “national healing” perlu
dilakukan dengan membawa nilai-nilai spiritual dan etis ke dalam wacana publik.
Dengan kata lain, kita memerlukan penguatan etika politik dan
pertanggungjawaban moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penguatan etika dalam kehidupan
publik ini pada gilirannya harus berakar kuat pada proses persemaian dan
pembudayaan dalam sistem pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara
formal, non-formal maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia
baru Indonesia dengan karakter yang kuat. Karakter yang mencerminkan kualitas
kepribadian dan merit. Yakni kepribadian yang terkait dengan kapasitas moral
seseorang, seperti keterpercayaan dan kejujuran; serta kekhasan kualitas seseorang yang
membedakan dirinya dari orang lain, yang membuatnya berkemampuan menghadapi
kesulitan, ketidakenakan dan kegawatan (aktualitas potensi diri).
Setahun setelah Pemilihan Umum 1955
yang tak menentu, Presiden Soekarno dalam pidato peringatan hari kemerdekaan
menyatakan, “Aku belum kehilangan kepercayaan kepada bangsaku sendiri!”
Selanjutnya dijelaskannya bahwa bangsa Indonesia telah melampaui dua taraf
perjuangan. “Taraf physical revolution ” (1945-1949) dan “taraf
survival” (1950-1955). Lantas ia tandaskan, “Sekarang kita berada pada taraf
_investment_, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti yang
seluas-luasnya: investment of human skill, material investment,
dan mental investment.”
Dalam pandangan Soekarno, investasi
manusia dan material amat penting. Akan tetapi, yang paling penting adalah
investasi mental. Investasi pengetahuan dan material tidak bisa menjadi dasar
persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari investasi mental. Tanpa
kekayaan mental, upaya-upaya pemupukan modal manusia dan material hanya akan
melanggengkan perbudakan. Dikatakannya, “Lebih baik kita membuka hutan kita dan
menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual
serambut pun daripada kemerdekaan kita ini untuk dolar, untuk rubel.”
Ditambahkannya pula, “Mental kita harus mengangkat diri kita di atas kekecilan
jiwa, yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran mempertentangkan
urusan tetek bengek yang tidak penting.”
Itulah sebabnya, mengapa Bung Karno
sangat menekankan program “Nation and Character Building”. Dalam
pandangannya, Indonesia adalah bangsa besar, namun seringkali memberi nilai
terlalu rendah pada bangsanya alias bermental kecil; masih belum terbebas dari
mentalitas kaum terjajah yang sering mengidap perasaan rendah diri
(minderwaardigheidscomplex). Bung Karno menyadari bahwa sebagai akibat
penjajahan dan feodalisme selama ratusan tahun, terbentuklah karakter rakyat
yang disebut “abdikrat,” meminjam istilah dari Verhaar dalam bukunya Identitas
Manusia. Akibatnya, terbentuklah mentalitas pecundang dengan penuh perasaan
tak berdaya dan tidak memiliki kepercayaan diri atau self-confidence.
Memasuki alam kemerdekaan, Bung Karno menyerukan agar watak demikian harus
dikikis habis. Rakyat harus berjiwa merdeka, berani berkata “ini dadaku, mana
dadamu”; berani mandiri dan menghargai diri sendiri.
Dalam perkembangannya, rezim
pembangunan terlalu memprioritaskan investasi material (material investment),
yang bersifat kuantitatif; kurang memberikan perhatian pada investasi mental.
Pelajaran moral Pancasila memang digalakan, namun cenderung bias kognitif lewat
butir-butir hapalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menggugah nurani. Kita memerlukan pendidikan karakter
secara holistik dan efektif. Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari
pendidikan moral, pendidikan kewargaan, dan pengembangan karakter. Setiap
komponen memberikan perbedaan tekanan tentang apa yang penting dan dan apa yang
semestinya diajarkan.
Pendidikan moral menitikberatkan
dimensi etis dari individu dan masyarakat serta memeriksa bagaimana
standar-standar kebenaran dan kesalahan dikembangkan. Agama dan filsafat
menyediakan fondasi untuk diskusi-diskusi moral dan pertimbangan-pertimbangan
etis tentang bagaimana restorasi nilai-nilai kebajikan berlangsung di
lingkungan sekolah.
Pendidikan kewargaan (civic
education) memberikan kesempatan bagi keterlibatan aktif dalam proses-proses
demokratis yang berlangsung di sekolah dan komunitas. Basis pengetahuannya
mencakup prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang dapat digunakan oleh
siswa untuk memeriksa hak-hak sipil dan tanggung jawab mereka serta untuk
berpartisipasi dalam komunitas yang majemuk demi kebajikan bersama. Watak
sipil, karakteristik warga negara yang baik dalam sistem demokrasi diamati dan
ditekankan baik dalam pembelajaran di kelas maupun dalam aktivitas ekstra
kurikuler.
Pengembangan karakter adalah suatu pendekatan holistik yang menghubungkan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan sipil dari kehidupan siswa. Sikap dan nilai dasar dari masyarakat diidentifikasi dan diteguhkan di sekolah dan komunitas. Pendidikan bersifat sarat nilai, karena masyarakat menentukan apa-apa yang akan dan tidak akan diteladani. Moral ditangkap (caught) lewat keteladanan dan pengalaman konkret bukan diajarkan (taught) sekadar hapalan.
Pengembangan karakter adalah suatu pendekatan holistik yang menghubungkan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan sipil dari kehidupan siswa. Sikap dan nilai dasar dari masyarakat diidentifikasi dan diteguhkan di sekolah dan komunitas. Pendidikan bersifat sarat nilai, karena masyarakat menentukan apa-apa yang akan dan tidak akan diteladani. Moral ditangkap (caught) lewat keteladanan dan pengalaman konkret bukan diajarkan (taught) sekadar hapalan.
Diambil dari
REPUBLIKA.CO.ID,Rabu, 14 Mei 2014, Oleh: Yudi Latif pada Rabu, 14 Mei 2014,pukul
23:41.
0 komentar:
Posting Komentar