“For all things are united,
themselves with parts of themselves – the beaming sun and earth and sky
and sea – whatever things are friendly but have separated in mortal
things. And so, in the same way, whatever things are the more adapted
for mixing, these are loved by each other and made alike by Aphrodite” Empedocles[1]
Oleh: Saraswati Dewi
Cinta mudah diterjemaahkan kedalam
puisi, lagu dan tarian, karena ranah cinta dan irasionalitas jauh lebih
mudah diekspresikan, tetapi bisakah kita mendiskursuskan cinta?
Ganjil memang, ditengah asumsi bahwa cinta itu tidak logis, sementara
ada hasrat manusia untuk memahami secara rasional apa cinta itu. Hasrat
ini telah menjadi obsesi berbagai filosof, sebut saja Plato, Empedokles,
Kierkegaard, Fromm, Stendhal, hingga filosof India Vatsyayana. Mengapa
penting bagi manusia untuk bisa memahami cinta secara diskursif?
Bukankah cinta sama indah dan memikatnya di dalam irasionalitas puisi,
lukisan, serta simfoni? Kecenderungan manusia untuk melabelkan,
mendefinisikan lalu menguraikan peristiwa adalah dorongan utama untuk
menaklukan secara komprehensif apa cinta itu. Cinta sarat anomali,
tetapi bagi para filosof teka-teki itulah yang mempesona tentang cinta.
Amor Platonicus
Dalam karyanya Symposium, Plato meramu
suatu konsep ideal tentang cinta. Melalui pembicaraan 7 tokoh, Phaedrus,
Pausanias, Eryximachus, Aristophanes, Agathon, Socrates, dan
Alcibiades, mereka masing-masing saling memaparkan pendapat mereka
tentang cinta. Sambil menikmati anggur Phaedrus mengawali pidatonya
memuja Dewa Eros, “Love is a great god, wonderful in many ways to gods and men, and most marvelous of all is the way he came into being.”[2] Phaedrus
menjelaskan bagaimana pada awalnya adalah kekacauan (chaos) lalu
kemudian cinta terlahir lalu terbentuklah keteraturan. Filsafat cinta
dari Plato memang sarat dengan dihubungkannya cinta dan bagaimana alam
semesta terbentuk. Serupa dengan kutipan dari Empedocles, yang
menyatakan bahwa alam tercipta karena elemen primordial cinta melekatkan
segala-galanya. Pandangan yang romantis memang, tetapi dibalik
romantisisme itu, secara mendasar apa yang ingin disampaikan Plato dan
Empedocles adalah ada suatu energi yang memungkin segala interaksi dan
relasi yang sempurna di dalam alam semesta ini. Bagaimana alam bekerja
dalam dinamika serta mekanisme yang tidak saja harmonis tetapi juga
indah, bagi para filosof ini berkaitan dengan keberadaan elemen utama
yakni cinta.
Plato melalui pidato Pausanias lebih
lanjut lagi memaparkan bagaimana cinta dapat dimengerti melalui dua
perspektif, Common Aphrodite dan Heavenly Aphrodite[3].
Common Aphrodite adalah cinta yang erotis dan vulgar, pemuasan tubuh
serta kepemilikan menjadi tujuan utamanya. Cinta semacam ini menurut
Plato adalah cinta yang hedonistik, yang mencari momentum kepuasan.
Sementara itu Heavenly Aphrodite mengejar wujud cinta yang berbeda,
tidak ada penaklukan disini. Cinta tertinggi dipandang sebagai bentuk
persahabatan dua hati, yang tidak ada dorongan nafsu ragawi. Dimana dua
orang ini saling menghormati, menikmati pertemanan secara intelektual.
Bagi Plato cinta semacam inilah cinta yang terhormat, yang tidak mencari
kepuasaan sesaat, tetapi mengejar kebijaksanaan di dalam cinta. Beralih
dari Pausanias, pidato Eryximachus menjelaskan pula dua tipe dari
cinta, dimana tubuh manusia berada di persimpangan dua kecenderungan
ini, “The point is that our very bodies manifest the two species of love.”[4] Tubuh
menurut Plato merespon secara berbeda peristiwa cinta, ada yang
merespon secara buruk sehingga cinta berubah menjadi racun, merusak
tubuh dan menyebabkan kematian, tetapi adapula yang bentuk cinta yang
bekerja sebagai obat dan menyegarkan tubuh serta pemikiran. Analogi yang
diberikan dalam pidato Eryximachus penting dalam menjelaskan teori
cinta Platonian, bahwa setiap manusia memiliki reaksi serta ekspektasi
yang berbeda-beda tentang cinta. Tetapi apapun reaksi itu, konsep
utamanya adalah cinta merupakan kekuatan yang mampu merubah sesuatu,
mampu mentransformasi sesuatu.
Dalam pidato Aristophanes, Plato
memperkenalkan teorinya yang terkenal yakni mitos ‘belahan jiwa’.
Dikisahkan oleh Aristophanes bahwa pada awalnya manusia diciptakan dewa
berpasang-pasangan, saling menempel satu dengan yang lainnya. Meski
manusia lemah secara tenaga, tetapi mereka memiliki ambisi yang kuat
untuk melawan dewa. Khawatir dengan pemberontakan manusia, Zeus
menyambar manusia dengan petir-petirnya, menghukum mereka dengan cara
memisahkan mereka dengan pasangannya. “In that condition they would
die from hunger and general idleness, because they would not do anything
apart from each other. Whenever one of the halves died and one was
left, the one that was left still sought another and wove itself
together with that, —either way they kept on dying.”[5] Inti
dari mitos ini, bagi Plato kehidupan manusia dapat diandaikan seperti
manusia yang kehilangan pasangannya. Sepanjang hidupnya ia merasakan
kehampaan yang sulit untuk diisi. Pencarian terhadap cinta sejati adalah
pencarian terhadap belahan jiwa tersebut, “Love is born into every
human being; it calls back the halves of our original nature together;
it tries to make one out of two and heal the wound of human nature.”[6] Cinta
bagi Plato adalah substansi yang dapat memenuhi kekosongan itu, ia
mempersatukan realitas serta relasi yang nampaknya sedemikian kacau dan
acak, cinta juga memulihkan jiwa manusia.
Pada pidato Agathon, Plato menjelaskan
bahwa kita bisa melihat gejala-gejala cinta. Gejala-gejala itu adalah
bukti riil bahwa cinta itu adalah kekuasaan. Seseorang yang menyebabkan
jatuh cinta sesungguhnya ia memiliki kekuasaan. Ia yang memberi cinta
yang tulus juga memiliki kekuataan dan kekuasaan. Selain itu dalam
pidato Agathon, Plato menegaskan lagi bahwa cinta itu tidak saja indah
dan menyenangkan tetapi ia juga menginginkan kebaikan dan keadilan. Bagi
Agathon cinta adalah serum yang dibutuhkan dalam dunia yang penuh
dengan kekerasan. Cinta melembutkan jiwa manusia, ia membuat manusia
menjadi beradab, “Love moves us to mildness, removes from us wildness. Giver of kindess never of meaness.”[7] Paparan
dari Agathon disetujui oleh pembicara selanjutnya, yakni Socrates, ia
menjelaskan bahwa ketika seseorang sedang mencintai sesungguhnya ia
menginginkan kebaikan di dalam cinta tersebut. Itu mengapa menurut tokoh
Socrates, cinta dan kebaikan sepatutnya tidak terpisahkan, secara
ekstremnya, inilah cinta yang sesungguhnya, bukan jenis cinta yang
lainnya.
Perdebatan panjang yang diuraikan oleh
Plato menunjukan properti dari cinta, begitu juga motif dari kegiatan
mencintai tersebut. Konsep cinta dari Plato kongruen dengan dualismenya,
dari segi epistemologis ia selalu mengatakan bahwa ada kebenaran
doxatic dan kebenaran epistemic, begitu juga dalam metafisikanya, bahwa
realitas sesungguhnya adalah dunia idea bukan dunia fisikal dalam
keseharian. Berkaitan dengan filsafat cinta Plato, ia juga melihat bahwa
ada hirarki ketika memahami cinta. Cinta yang destruktif, ingin
menguasai, menyiksa bagi Plato hanyalah bayangan dari cinta, bukan cinta
yang sejati, cinta sejati baginya adalah cinta yang baik dan adil.
Mengapa manusia mencintai? Menurut Socrates karena cinta adalah ‘nature’
dari surga, ia selalu ingin melampaui mortalitas ketubuhannya, ia ingin
mencapai kesempurnaan itu.
Dari Otak Turun Ke Hati
Cinta memang lahir dari banyak tafsir
mistifikasi. Tidak terhitung jumlah mitos-mitos dan simbol-simbol
tentang cinta yang melibatkan tragedi dan kesengsaraan. Setiap orang
menginginkan kisah dongeng dimana cinta menumpas keburukan dan pasangan
yang saling mencintai tersebut hidup sejahtera selamanya. Cinta dianggap
sebagai suatu panacea. Suatu ramuan yang dapat membuat segala keburukan
dan kebingungan sirna dalam sekejap. Nyatanya cinta tidak bekerja
seperti itu. Cinta di dalam dunia riil membutuhkan proses, bahkan
Russell mengatakan cinta paling tidak harus memiliki stabilitas.
Kata stabilitas tidak selalu kongruen
dengan konsepsi tentang cinta, apalagi cinta selalu diasosiasikan dengan
gairah dan petualangan. Tetapi banyak filosof memilih cinta yang
stabil, dengan kaitannya dalam menghindari kesengsaraan. Kita ambil
contoh Erich Fromm, ia mengkritisir terma ‘jatuh cinta’, mengapa manusia
harus jatuh cinta? Ia menegaskan kata ‘jatuh’ atau ‘falling’, haruskah
manusia jatuh? Seolah-olah pengalaman mencintai harus mengalami insiden
yang carut marut dimana kita selalu terperosok? “Love is an activity, not a passive affect; it is a ‘standing in’, not a ‘falling for’.”[8] Erich
Fromm melakukan analisa psikologis tentang cinta, bahwa cinta yang
seringkali menyebabkan kesengsaraan bagi manusia adalah cinta yang
berakar pada mitos. Mitos apa? Kita ambil contoh mitos yang digunakan
oleh Plato dalam Symposium, Plato menjelaskan bagaimana manusia ketika
zaman awal penciptaanya sesungguhnya adalah sepasang manusia yang
menjadi satu. Terpisahnya dengan pasangan jiwa itulah yang menyebabkan
kita hidup dalam kegelisahan. Atas dasar mitos inilah maka manusia
selalu meyakini bahwa untuk melengkapi kehidupannya ia harus mencari
pasangan yang sudah ditakdirkan bersamanya. Sungguh berat misi untuk
mencintai semacam ini, Fromm akan mendebat, “Another form of Pseudo
Love is what we may be called ‘sentimental love’. Its essence lies in
the fact that love is experienced only in phantasy and not in the here
and now relationship to another person who is real.”[9]
Cinta Pseudo, Fromm menjabarkan, adalah
suatu kondisi dimana manusia hidup dalam atmosfir cinta dalam fantasi.
Kita mencari sentimentalitas dan drama dalam cinta, seperti apa yang
telah dibentuk dan diajarkan kepada kita secara kultural, sementara kita
melalaikan apa yang terjadi secara kekinian di dalam hidup kita.
Manusia ingin cinta yang fantastis, disinilah letak problemnya, bagi
Fromm cinta adalah relasi yang lahir dari emosi manusia yang
menginginkan keintiman. Manusia sering memfantasikan bentuk dan objek
cinta mereka, fantasi terhadap forma-forma inilah yang melalaikan pesan
kesederhanaan dari cinta. Cinta adalah tentang pengalaman,
kompatibilitas dan relasi kepercayaan. Fromm akan menolak segala bentuk
romantisme dan mistifikasi tentang cinta.
Antropolog dan juga filosof Helen Fisher
banyak menyempurnakan pendekatan psikologi Fromm berkenaan dengan
kapabilitas manusia untuk mencintai. Helen Fisher adalah salah satu
ilmuwan yang menjustifikasi bahwa cinta bukanlah suatu bentuk emosi
seperti kemampuan emotif kita untuk merasakan senang, sedih, marah dan
yang lainnya, Fisher meyakini kemampuan kita untuk mencintai adalah
suatu ‘drive’ atau dorongan. Hal ini cukup mencengangkan karena ‘drive’
atau dorongan dapat dimengerti sebagai suatu kondisi dasar manusia
seperti halnya dorongan untuk makan dan minum.
Fokus utama dari Fisher adalah meneliti
aktivitas dari cinta, baik segi konstruktif dari cinta, hingga kekuatan
destruktifnya. Fisher menjelaskan secara Darwinian, bahwa otak kita
telah berevolusi menjadi tiga sistem besar, yang pertama adalah bagian
otak yang berhubungan dengan dorongan seksual, bagian kedua adalah otak
yang berhubungan dengan infatuasi, fantasi atau kemabukan, serta yang
ketiga adalah yang berkaitan dengan kemampuan kita untuk berada dalam
suatu ikatan yang menyangkut toleransi, dan rasa aman. Tiga sistem otak
ini dikatakan oleh Fisher tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi juga
beberapa hewan mamalia, itulah mengapa ia menyebutkan sebagai tiga
sistem besar dari otak mamalia.
Melalui pemahaman dari tiga sistem otak
inilah maka sesungguhnya kita dapat memahami kecenderungan aktivitas
cinta dari seseorang. Mereka yang menganggap seks sebagai cinta maka
akan lebih sering menggunakan bagian otak pertama, yang dikatakan oleh
Fisher sebagai bagian otak yang memproduksi testosteron. Sementara
mereka yang menganggap cinta adalah komitmen dan loyalitas maka akan
lebih sering menggunakan sistem otak bagian ketiga yaitu bagian otak
yang memproduksi endorphin. Sistem otak bagian kedua adalah yang paling
unik dikatakan oleh Fisher, karena muara segala pembahasan kita tentang
cinta yang kompulsif, obsesif, agresif, dan penuh dengan infatuasi dapat
dijelaskan melalui aktifitas sistem otak ini. Otak dibagian ini
dipahami Fisher sebagai otak yang memproduksi dopamine. Apa itu
dopamine? “Dopamine is commonly associated with the pleasure system
of the brain, providing feelings of enjoyment and reinforcement to
motivate a person proactively to perform certain activities. Dopamine is
released (particularly in areas such as the nucleus accumbens and
ventral tegmental area) by naturally rewarding experiences such as food,
sex, drugs and neutral stimuli that become associated with them.”[10]
Penjelasan dari Fisher memberikan
pendasaran ilmiah mengapa manusia tergila-gila dengan cinta, mengapa
manusia rela mati demi mempertahankan cinta? Ternyata asupan kimia yang
bernama dopamine yang menyebabkan kita dapat menanggung penderitaan dan
intrikasi dari cinta. Dopamine tidak saja memberikan kenikmatan, tetapi
juga merangsang dan memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. Fisher
memberikan penjelasan bagaimana otak manusia berevolusi, dan bagaimana
kita telah terhabituasi menggunakan otak yang berurusan dengan gairah
ini. Bukankah manusia makhluk yang bebas? Sehingga sesungguhnya ia bisa
mengkontrol aktivitas cintanya? Tetapi mengapa ia selalu jatuh pada
cinta yang sarat dengan konflik dan kesusahan? Hal ini dapat dijawab
dengan pengaruh dari dopamine tersebut, “…dopamine can produce
feelings of ecstasy, as well as focused attention, enormous energy and
intense motivation to win a reward.”[11] Di
dalam pengertian ini dopamine mengandung zat kimia yang ekuivalen
dengan amphetamine atau kokain. Sehingga selain kimia ini mendorong
kemampuan fokus dan obsesi seseorang, tetapi juga sangat adiktif.
Melalui habituasi kita meyakini bahwa
cinta harus penuh dengan siksa, dilema dan pengorbanan. Ini adalah
simbol-simbol kemurnian dari cinta, seperti yang diutarakan oleh
Aeschylus, “He who learns must suffer. And even in our sleep, pain
that cannot forget falls drop by drop upon the heart, and in our own
despair, against our will, comes wisdom to us by the awful grace of
God.” Selepas mengalami tragedi di dalam cinta kita menuai
kebijaksanaan, kesengsaraan tidak sekedar fase di dalam percintaan,
tetapi justru menjadi tanda terhadap komitmen atau loyalitas seseorang.
Kerelaan kita untuk menanggung kesengsaraan demi seseorang menunjukan
integritas kita. Aktivitas mencintai menjadi suatu momen bagi seseorang
untuk mengeksplorasi emosi-emosinya, entah itu senang, marah, berharap,
kecewa maupun berduka. Bisakah manusia membangun cinta yang
diidam-idamkan Fromm dan Russell, cinta yang ‘standing in’ dan cinta
yang bersih dari mitos?
Cinta, Tubuh dan Kenikmatan
Ketika cinta bermetamorfosis menjadi
relasi seksual, dua reaksi telah kita pahami dari uraian di subbab
sebelumnya. Pertama tubuh mengkorupsi kemurnian cinta, bila kita
mengambil posisi argumen seorang Platonian, tetapi dari segi Fromm,
relasi tubuh adalah tahap normatif dalam hubungan percintaan manusia.
Begitu juga menurut Fisher yang selalu mengutip Darwin, bahwa relasi
seksual adalah drive utama manusia, bahwa gairah seksualitas dan
nantinya berreproduksi telah tertanam di dalam otak. Satu lagi argumen
tentang cinta dan tubuh dapat dibahas dalam pembahasan ini adalah
tentang tubuh dan seni erotika. Vatsyayana, dalam karyanya Kama Sutra
menjelaskan bagaimana indah proses keintiman yang terjadi diantara
sepasang manusia. Mengapa Kama Sutra disanjung sebagai pedoman penting
dalam mencapai kebahagiaan ?
Vatsyayana meyakini bahwa proses
keintiman mencitrakan eksistensi manusia yang tinggi. Ia memahami bahwa
proses reproduksi dari manusia bukanlah suatu kegiatan yang mekanistik
semata, tetapi proses penyatuan tersebut bersifat substansial dan
estetis. Disinilah letak spiritualisme Kama Sutra, pemahaman bahwa seks
bukanlah habituasi monoton dari manusia, tetapi merupakan suatu proses
seni yang alamiah dan agung. Bagian filosofis dari Kama Sutra terletak
di bagian pengantar atau Bab kedua. Pada bagian ini Vatsyayana mengutip
Veda, yaitu dalam hubungannya dengan Catur Purusarthas. Catur
Purusarthas, atau Empat Tujuan Hidup merupakan pandangan yang
mengidealkan tahapan hidup yang seimbang. Catur Purusarthas terdiri dari
pertama, Dharma atau kebaikan, kedua adalah Artha atau kesejahteraan
materiil, ketiga adalah Kama, yaitu cinta dan kepuasan indrawiah dan
yang terakhir adalah Moksha, atau pembebasan diri menuju Tuhan.
Vatsyayana menuliskan, “Dharma lebih baik dari Artha, sedangkan Artha lebih baik dari Kama.”(Kama
Sutra I.2.14) Melalui statemen singkat ini Vatsyayana menekankan bahwa
kebaikan dan kebijaksanaan adalah pencapaian yang tertinggi apabila
dibandingkan dengan kekayaan dan cinta. Kemudian apakah substansinya
aktivitas Kama atau cinta, apabila tujuan utama dari manusia adalah
Dharma atau kebaikan? Vatsyayana berargumentasi secara baik, dalam
realitasnya manusia telah diberikan kemampuan dan keistimewaan untuk
merasakan kenikmatan dan mengkontemplasikan kenikmatan, “Seksualitas adalah esensial dalam keberlangsungan hidup manusia”(Kama Sutra II.37).
Dalam pengertian Vatsyayana yang
kemudian diadopsi oleh Michel Foucault dalam teori Ars Erotica. Guna
tubuh adalah untuk mencapai kenikmatan. Vatsyayana menegaskan bahwa
cinta adalah kenikmatan. Bahkan simbol lingam-yoni menunjukan bahwa
proses keintiman sepasang manusia merupakan bentuk tertinggi dari cinta.
Kepuasan itu sederhana, transendental dan indah.
Penutup
Tiga subbab yang telah diuraikan
membahas persoalan cinta dari pendekatan yang berbeda-beda. Tetapi satu
persamaan yang dapat digarisbawahi, bahwa cinta adalah penyebab
transformasi. Baik transformasi ala Platonian yang ingin lepas dari
penjara tubuh dan mencapai Heavenly Aphrodite, atau tranformasi biologis
ala Darwinian dan Fisher yang menunjukan betapa menariknya aktifitas
otak manusia ketika ia tengah jatuh cinta. Sedangkan bagi Vatsyayana,
transformasi relasi tubuh dipandang sebagai tahap luhur dari cinta.
Bahwa pencapaian keintiman seksual adalah forma tertinggi dari cinta.
Cinta adalah sumber yang memungkinkan transformasi-transformasi ini.
Bila kembali pada kutipan Empedocles di awal makalah ini, ia menjelaskan
dengan sangat indah, bagaimana secara kosmogonik, alam raya ini mampu
bersatu dan membentuk suatu tatanan yang selaras dikarenakan ada
perekatnya, yaitu cinta.
Daftar Pustaka
M.Cooper, John (ed), Plato Complete Works, Hackket, USA, 1997
Fairbanks, Arthur (ed), Empedocles Fragments and Commentary, London, 1898
Fisher, Helen, Anatomy of Love, Ballantine Books, USA, 1994
Kierkegaard, Soren, Works of Love, Harper Torchbook, New York, USA 1964.
Danielou, Alain (ed), The Complete Kama Sutra, Park Street Press, USA, 1992
Fromm, Erich, The Art of Living, Perennial Classic, New York, 2000
[1] Empedocles Fragments and Commentary Arthur Fairbanks, ed. and trans. The First Philosophers of Greece (London: K. Paul, Trench, Trubner, 1898), 157-234.
[2] .lih Symposium hlm. 463
[3] Ibid. hlm 466
[4] Ibid. hlm 470
[5] Ibid. hlm 474
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm 480
[8] .lih Erich Fromm “The Art of Living”, hlm. 21, Perennial Classic, New York, 2000
[9] Ibid. hlm. 93
[10] .lih www.helenfisher.com, data dalam format PDF, lihat bagian Helen Fisher, “Lost Love : The Nature of Romantic Rejection.” hlm. 185